KISAH GUNUNG BUDHEG ATAU GUNUNG KENDET
Gunung Budheg menyimpan sebuah penggalan kisah dari Babad Tulungagung. Sebuah bukit bisu menyimpan sebuah kisah yang patut kita renungkan dan ambil maknanya.
Warga Tulungagung tentunya tahu tentang sebuah bukit unik yang dinamai Gunung Budheg. Gunung itu terletak di pinggiran selatan kota Tulungagung, di kacamatan Campurdarat. Gunung ini sebenarnya kurang tepat jika dikategorikan sebagai gunung karena dengan ketinggian 900 meter di atas permukaan laut terlalu kecil. Sebenarnya inilah sebuah bukit. Sebagian masyarakat menyebutnya dengan nama gunung Cikrak karena bentuk batu tsb menyerupai cikrak (alat trbuat dari anyaman bambu untuk membuang sampah). Di atas bukit terdapat sebuah candi, Candi Tritis namanya. Tahun pembangunan candi ini sampai sekarang tidak diketahui, tapi diperkirakan candi tersebut berasal dari jaman Majapahit.
Menurut cerita turun temurun ada satu legenda yang menjadi asal mula adanya gunung itu. Legenda ini termasuk bagian dari babad Tulungagung. Seorang putri yang cantik bernama Roro Kembangsore adalah putri dari Pangeran Bedalem di Kadipaten Betak. Dalam suatu pelariannya, Roro Kembangsore masuk ke desa Dadapan. Di desa tersebut ia menumpang pada seorang janda bernama mbok Rondo Dadapan, yang mempunyai anak laki-laki bernama Joko Bodo. Lama kelamaan Joko Bodo terpikat oleh kecantikan wajah Roro Kembangsore dan ingin sekali memperistrinya, tetapi selalu ditolak secara halus oleh Roro Kembangsore. Oleh karena Joko Bodo selalu mendesak maka pada suatu hari ketika mbok Rondo Dadapan sedang bepergian, Roro Kembangsore mengajukan permintaan. Ia bersedia dikawin, asalkan Joko Bodo mau menjalani tapa mbisu di sebuah bukit dekat desa itu. Joko Bodo menerima permintaan tadi dan pergi meninggalkan rumah. Ikatan janji itu tidak diketahui oleh mbok Rondo Dadapan. Roro Kembangsore juga pergi menuju ke Gunung Cilik. Maka ketika mbok Rondo pulang dari bepergian ia merasa terkejut, karena keadaan rumah kelihatan sepi, dan ternyata kosong. Ia pergi kesana kemari dan memanggil-manggil kedua anak tersebut. Tetapi tidak ada jawaban. Akhirnya diketemukan Joko Bodo sedang duduk termenung menghadap kebarat. Dipanggilnya berulang kali tidak mau menjawab. Karena jengkelnya mbok Rondo lupa dan mengumpat “Bocah diceluk kok meneng bae kaya watu”. Seketika itu juga karena kena sabda mbok Rondo, Joko Bodo berubah menjadi batu. Mbok Rondo menyadari atas keterlanjuran kata-katanya. Maka ia lalu berharap; “Besok kalau ada ramainya zaman gunung ini saya beri nama “Gunung Budheg”.
gunung budheg
Akses menuju gunung ini sangat mudah dijangkau, kurang lebih berjarak 8 km sebelah selatan kota Tulungagung di kecamatan Campurdarat. Untuk menuju kesana bisa menggunakan kendaraan umum jurusan tulungagung-popoh, turun di pasar boyolangu atau bisa di perempatan desa Tanggung (ada sekolah dasar SD Tanggung di perempatan tsb).
ayam alas
Sebuah tulisan perjalanan dari penjelajahan anak Tulungagung di tahun 2007 mengungkapkan terjadinya penurunan populasi keanekaragaman flora dan fauna di kawasan Gunung Budheg. Misalkan ayam hutan atau ‘ayam alas’ merah (gallus gallus) maupun ayam hutan hijau (gallus varius) yang berkurang di tahun-tahun terakhir ini, karena perburuan liar dan kemudian diperjual-belikan secra ilegal, karena sebenarnya ayam hutan termasuk hewan yang dilindungi. Selain itu masyarakat setempat sering membuka lahan dengan cara membakar rerumputan atau alang-alang untuk digunakan bercocok tanam. Sehingga lama-kelamaan habitat asli ayam hutan semakin terdesak oleh kegiatan pertanian atau perkebunan masyarakat sekitar.
Gunung Budheg menyimpan sebuah penggalan kisah dari Babad Tulungagung. Sebuah bukit bisu menyimpan sebuah kisah yang patut kita renungkan dan ambil maknanya.
Warga Tulungagung tentunya tahu tentang sebuah bukit unik yang dinamai Gunung Budheg. Gunung itu terletak di pinggiran selatan kota Tulungagung, di kacamatan Campurdarat. Gunung ini sebenarnya kurang tepat jika dikategorikan sebagai gunung karena dengan ketinggian 900 meter di atas permukaan laut terlalu kecil. Sebenarnya inilah sebuah bukit. Sebagian masyarakat menyebutnya dengan nama gunung Cikrak karena bentuk batu tsb menyerupai cikrak (alat trbuat dari anyaman bambu untuk membuang sampah). Di atas bukit terdapat sebuah candi, Candi Tritis namanya. Tahun pembangunan candi ini sampai sekarang tidak diketahui, tapi diperkirakan candi tersebut berasal dari jaman Majapahit.
Menurut cerita turun temurun ada satu legenda yang menjadi asal mula adanya gunung itu. Legenda ini termasuk bagian dari babad Tulungagung. Seorang putri yang cantik bernama Roro Kembangsore adalah putri dari Pangeran Bedalem di Kadipaten Betak. Dalam suatu pelariannya, Roro Kembangsore masuk ke desa Dadapan. Di desa tersebut ia menumpang pada seorang janda bernama mbok Rondo Dadapan, yang mempunyai anak laki-laki bernama Joko Bodo. Lama kelamaan Joko Bodo terpikat oleh kecantikan wajah Roro Kembangsore dan ingin sekali memperistrinya, tetapi selalu ditolak secara halus oleh Roro Kembangsore. Oleh karena Joko Bodo selalu mendesak maka pada suatu hari ketika mbok Rondo Dadapan sedang bepergian, Roro Kembangsore mengajukan permintaan. Ia bersedia dikawin, asalkan Joko Bodo mau menjalani tapa mbisu di sebuah bukit dekat desa itu. Joko Bodo menerima permintaan tadi dan pergi meninggalkan rumah. Ikatan janji itu tidak diketahui oleh mbok Rondo Dadapan. Roro Kembangsore juga pergi menuju ke Gunung Cilik. Maka ketika mbok Rondo pulang dari bepergian ia merasa terkejut, karena keadaan rumah kelihatan sepi, dan ternyata kosong. Ia pergi kesana kemari dan memanggil-manggil kedua anak tersebut. Tetapi tidak ada jawaban. Akhirnya diketemukan Joko Bodo sedang duduk termenung menghadap kebarat. Dipanggilnya berulang kali tidak mau menjawab. Karena jengkelnya mbok Rondo lupa dan mengumpat “Bocah diceluk kok meneng bae kaya watu”. Seketika itu juga karena kena sabda mbok Rondo, Joko Bodo berubah menjadi batu. Mbok Rondo menyadari atas keterlanjuran kata-katanya. Maka ia lalu berharap; “Besok kalau ada ramainya zaman gunung ini saya beri nama “Gunung Budheg”.
gunung budheg
Akses menuju gunung ini sangat mudah dijangkau, kurang lebih berjarak 8 km sebelah selatan kota Tulungagung di kecamatan Campurdarat. Untuk menuju kesana bisa menggunakan kendaraan umum jurusan tulungagung-popoh, turun di pasar boyolangu atau bisa di perempatan desa Tanggung (ada sekolah dasar SD Tanggung di perempatan tsb).
ayam alas
Sebuah tulisan perjalanan dari penjelajahan anak Tulungagung di tahun 2007 mengungkapkan terjadinya penurunan populasi keanekaragaman flora dan fauna di kawasan Gunung Budheg. Misalkan ayam hutan atau ‘ayam alas’ merah (gallus gallus) maupun ayam hutan hijau (gallus varius) yang berkurang di tahun-tahun terakhir ini, karena perburuan liar dan kemudian diperjual-belikan secra ilegal, karena sebenarnya ayam hutan termasuk hewan yang dilindungi. Selain itu masyarakat setempat sering membuka lahan dengan cara membakar rerumputan atau alang-alang untuk digunakan bercocok tanam. Sehingga lama-kelamaan habitat asli ayam hutan semakin terdesak oleh kegiatan pertanian atau perkebunan masyarakat sekitar.
Comments
Post a Comment